Pening Jokowi

ghibahin

Idealnya, kebijakan menghentikan ekspor itu menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, karena bahan baku pembuat minyak goreng sudah melimpah ruah di Indonesia.

Jika ada Presiden yang memulai karir politiknya dari bawah, bolehlah kita masukkan Joko Widodo salah satunya. Bukan apa-apa, dia merangsek dari bawah sekali, bayangkan saja, memulai karir sebagai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan terakhir menjadi Presiden Indonesia.

Ini juga rekor, dalam sejarah perjalanan Indonesia, Jokowi satu-satunya Presiden yang pernah merasakan semua level eksekutif. Entah jurus apa yang dipakai Jokowi, sehingga, tidak ada pemilihan yang tidak dia menangkan, mungkin juga sudah nasib badan. Ada juga, di seberang sana, yang sudah berapa kali nyalon, belum menang juga. 

Semuanya itu diperoleh Jokowi melalui pemilihan langsung, demokratis, dipilh rakyat. Jokowi sudah menjadi Presiden selama 8 tahun, hanya menyisakan dua tahun lagi untuk mengakhiri jabatannya yang jatuh tempo pada tahun 2024 nanti dan sudah ditunggu banyak politisi.

Hitung saja sudah berapa tahun Jokowi menjadi pelayan rakyat melalui jabatan publiknya itu. Selama itu pula, Jokowi sudah biasa menghadapi gerakan lawan politik, mulai dari menghadapi pedagang kaki lima sampai pedagang politik “kerah putih”. Semua itu dilewati dengan senang dan gembira. Tidak terlihat kegusaran yang berlebihan dari wajahnya. Namun ada juga kejadian yang membuat pening Jokowi.

Menurut catatan saya, ada dua hal yang membuat Jokowi sakit kepala. Pertama, mengenai politik identitas yang hampir saja membelah rakyat Indonesia seperti yang terjadi pada Pilkada DKI tahun 2017 dan Pilpres 2019. Kedua, mengenai kenaikan harga minyak goreng yang hebohnya se-Nusantara itu yang dampaknya sampai sekarang masih kita rasakan. 

Rupanya, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng itu mengalahkan gonjang-ganjing Undang-undang Cipta Kerja, ribut-ribut di Senayan atau perihal tiga periode. Minyak goreng sampai menurunkan kepercayaan publik kepada Presiden. Hal inilah yang saya duga membuat Jokowi khawatir.

Puncak dari kekhawatirannya itu kita lihat sendiri: Jokowi langsung mengumumkan larangan ekspor minyak sawit dan turunannya. Padahal, bisa saja Presiden mendelegasikan kepada salah satu pembantunya, Mentri Perdagangan, apalagi teknis kebijakan tersebut menjadi Keputusan Menteri Perdagangan. Tidak, Jokowi tidak mendelegasikan, dia mengumunkan sendiri cikal bakal kebijakan itu. Ini artinya, kebijakan yang sangat penting, bagi bangsa, negara, dan juga bagi Jokowi. 

Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia. Pasokan minyak sawit Indonesia berpengaruh terhadap kebutuhan minyak sawit dunia. Jokowi menghentikan eksport minyak sawit di saat harga lagi bagus-bagusnya. Di tingkat petani, harga Tanda Buah Segar hampir mencapai Rp. 300 per kg nya. 

Idealnya, kebijakan menghentikan ekspor itu menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, karena bahan baku pembuat minyak goreng sudah melimpah ruah di Indonesia. Sebut saja misalnya, pada tahun 2021 Indonesia memproduksi 46 juta ton Crude Palm Oil (CPO), dan sekitar 25 persen diantaranya di ekspor. Maka dengan adanya larangan ekspor, seluruh produksi untuk kebutuhan dalam negeri.

Namun demikian, Jokowi tidak berani berlama-lama melarang ekspor CPO dan turunannya. Sejak dikeluarkan pada 28 April 2022, sudah menimbulkan gejolak yang berbeda, harga sawit di tingkat petani turun perlahan, sampai tidak ada yang beli. Situasi ini membuat Jokowi mencabut larangan itu pada 23 Mei 2022. 

Nampakya larangan ekspor CPO belum mampu mempengaruhi harga minyak goreng. Beberapa hari yang lalu, saya membeli minyak goreng kemasan di kios langganan, harganya masih Rp. 28.000 untuk ukuran kemasan 1 liter. 

Fenomena ini melawan prinsip-prinsip dasar ekonomi pertanian. Lalu, pelajaran apa yang dapat kita ambil dengan situasi ini? Untuk memahamimya, saya teringat guyonan Prof. Bonar. Katanya, kalau produksi dalam negeri melimpah, ekspor dikurangi, namun kebutuhan dalam negeri tidak juga terpenuhi, patut diduga ada kegiatan ekspor yang tidak tercatat. 

Ekspor yang tidak tercatat dalam bahasa lainnya adalah penyeludupan. Selama ini yang sering diseludup adalah narkoba dan barang-barang illegal lainnya. Rupanya penyeludupan juga membuka ruang terhadap komoditas legal, termasuk minyak goreng.

Menurut data yang dirilis Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) total ekspor CPO dan olahan minyak sawit lainnya pada tahun 2021 mencapai angka 34,23%. Itu ekspor yang tercatat, melihat situasi ini patut diduga angka ekspor sebenarnya melebihi 34,23% sehingga mengakibatkan kebutuhan dalam negeri tidak dapat dipenuhi. Ruang-ruang bocor inilah yang harus diawasi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. 

Kejaksaan Agung sudah menangkap beberapa orang yang diduga terlibat dalam permainan minyak goreng. Jika melihat peran masing-masing orang yang ditangkap itu, sepertinya masih seputar pengaturan ekspor. Mulai dari kuota sampai melobi ekspor tanpa harus memenuhi kebutuhan dalam negeri atau Domestik Market Obligation (DMO). Masih ada satu lagi yang harus diungkap, ekspor yang tidak tercatat tadi. 

Pemerintah harus menjadikan kasus kelangkaan minyak goreng ini sebagai catatan dalam mengurus komoditi pertanian. Dulu, sekitar tahun 1980-an, hal yang sama pernah terjadi di sektor kehutanan. Pemberlakukan tarif ekspor terhadap kayu menyebabkan meningkatnya ekspor yang tidak tercatat, hal itulah yang ditemukan Prof. Bonar dalam disertasinya.

Rupanya, masalah itu sudah pernah ada, hanya saja dalam komoditi dan waktu yang berbeda. Semoga Presiden Jokowi tidak berlama-lama merasakan pening, dan segera menemukan solusi untuk mengatasi sudut kebocoran tersebut.

Alja Yusnadi, sedang menyelesaikan Studi Doktoral di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *