Bahkan Kematian pun Mau Menunggu

“Bersama ihwal jodoh dan rezeki, kematian sering disandingkan dalam misteri Tuhan paling mutlak, tanpa gugat, dan sepenuhnya merupakan ranah prerogatif Tuhan.”

Hampir 3 tahun lalu, pada suatu Minggu malam, kakak sepupu saya menghubungi demi memberitahu jika simbah putri sudah berpulang. Sejam sebelumnya, saya dan keluarga baru saja pulang dari rumah simbah setelah seharian berada di sana untuk menemani simbah yang kondisinya semakin menurun. Kondisi itu berlangsung hampir 2 minggu lamanya sebelum akhirnya simbah berpulang.

Saya merasa, di tengah kondisinya yang kian menurun, simbah masih ingin merasakan anak dan cucunya berkumpul demi menunggui dirinya, sesuatu yang mungkin jarang beliau dapatkan selepas anak-anaknya beranjak dewasa. Lalu, di hari-hari terakhirnya, simbah memilih pergi setelah anak-cucunya pulang selepas menungguinya seharian. 

Cerita lebih menyentuh hati datang beberapa lalu dari salah satu kawan dekat saya. Dua minggu sebelum teman saya pergi ke luar negeri untuk bekerja, bapaknya sakit dan harus dirawat cukup intensif. Beberapa hari sebelum keberangkatan, si bapak sembuh dan bisa mengantarkan anaknya ke bandara.

Sayang, semesta punya cerita lain. Tepat di hari pertama teman saya berada di luar negeri, bapaknya berpulang ke haribaan Tuhan. Seakan, beliau menanti anaknya berangkat terlebih dahulu sebelum akhirnya pergi.

***

Tidak peduli semaju apapun peradaban, kematian adalah salah satu hal paling misterius sekaligus menakutkan dalam kehidupan. Orang-orang agamis mungkin akan takut dengan neraka. Para penguasa mungkin takut kehilangan harta dan tahta. Lalu, orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan dan agama akan takut dengan berakhirnya masa hidup dan segala cerita di dalamnya.

Merantau dan bepergian masih bisa pulang atau setidaknya berkomunikasi. Masih ada sebuah asa kecil semacam, “Aku punya saudara di kota A.” Namun di hadapan kematian, kita bisa apa? Bertemu tidak bisa, bertukar pesan tidak bisa. Bersama ihwal jodoh dan rezeki, kematian sering disandingkan dalam misteri Tuhan paling mutlak, tanpa gugat, dan sepenuhnya merupakan ranah prerogatif Tuhan. Bahkan dalam banyak cerita, orang-orang suci pun tidak tahu persis ihwal kapan kematian diri mereka.

Bagi orang-orang agamis pada umumnya, kematian menjadi alasan bagi mereka untuk berbuat baik dan beribadah serajin mungkin sebagai bekal menjalani alam kubur. Bagi orang-orang yang tidak terlalu mengkhawatirkan surga-neraka, mereka akan mencoba sebanyak mungkin hal baru mumpung masih hidup.

Acapkali saya bertanya pada diri sendiri, mungkinkah kematian akan datang sekaku dan setepat waktu itu? Tidak peduli hujan badai melanda, malaikat kematian tetap akan turun ke bumi dan mencabut nyawa seseorang. Terlepas dari hak prerogatif Tuhan pada takdir kematian, saya merasa jika kematian agaknya tidak sekaku dan semenakutkan itu.

Kematian masih punya batas toleransi. Mungkin saja Tuhan dan sang malaikat sadar jika orang yang akan mati masih menunggu sesuatu. Kita bisa dengan mudah menemukan cerita, misalnya, tentang seseorang yang sudah terbaring sakit dalam kurun waktu lama namun baru meninggal setelah semua anaknya berkumpul. Atau, cerita soal orang-orang tertentu yang tertunda kematiannya karena lelaku dan jimat-jimat tertentu di masa lalu.

Saya lantas membayangkan, negosiasi macam apa yang dijalankan si sakit tadi dengan malaikat yang bersiaga di sampingnya. Atau, bagaimana malaikat masih enggan “mengajak pulang” si manusia tadi karena ia masih belum bersih dan lepas dari unsur keduniawian.

Sebagai Sang Maha Adil, saya percaya Tuhan tidak mungkin menerapkan satu hukum lebih ketat dibandingkan hukum lainnya. Dalam kepercayaan agama saya, sering disebutkan para ulama soal bagaimana Tuhan terkadang baru mengabulkan doa di saat yang tepat menurut ketetapan-Nya, bukan sesuai permintaan manusianya. Lantas, jika melihat melalui hal ini, apakah akan ada meja negosiasi untuk takdir bernama kematian?

Para alim ulama juga sering mengajarkan betapa kita harus selalu berdoa, termasuk doa agar diberikan umur panjang. Andai mau berpikir kaku dan tekstual, untuk apa berdoa jika memang ketetapan soal kematian tidak bisa digoyang gugat? Saya mengartikan, dengan rangkaian doa tadi sesungguhnya kita sedang membuka meja negosiasi demi meminta belas kasih Tuhan agar bisa tinggal lebih lama di dunia.

Imajinasi liar saya lantas mencoba menerka bagaimana Tuhan menciptakan garis takdir bagi seseorang. Katakanlah soal kematian tadi. Mungkin saja garis takdir memang sudah dibuat semenjak si manusia dicipta di alam kandungan. Namun, mungkin saja Tuhan dan para malaikat-Nya bisa sesekali mengintervensi garis tersebut. Tentu saja dengan melihat tingkah polah makhluk bernama manusia tadi. Toh, itu juga bagian dari hak prerogatif Tuhan.

Saya juga percaya bahwa Tuhan adalah Sang Maha Baik. Untuk urusan takdir yang paling ditakuti manusia bernama kematian pun Tuhan kadang masih mau berbaik hati menundanya barang beberapa hari. Seakan, Tuhan ingin memberikan kado indah terakhir bagi makhluknya sebelum ia harus melanjutkan takdir di alam barunya nanti.

***

Seorang kawan lain pernah bercerita ke saya. Katanya, dengan segala laku baik manusia, sesungguhnya manusia tidak hanya sedang beribadah tetapi juga sedang merayu Tuhan. Saya setuju saja, toh saya belum pernah menemukan manusia biasa yang menjalankan ibadah benar-benar karena ibadah, tidak berharap timbal balik dari Tuhan.

Lalu, bagaimana andai Tuhan ternyata memang tidak semenakutkan gambaran umat manusia yang dikisahkan selama ini. Bagaimana jika Tuhan ternyata bukan sosok yang hanya menerima 2 unsur: taat atau abai, surga atau neraka, baik atau buruk. Misalnya, Tuhan ternyata mau berbaik hati menunda suatu takdir menakutkan bagi seorang manusia.

Melepaskan diri dari aneka pemikiran dan imajinasi di atas, saya selalu percaya jika manusia hanyalah makhluk kecil mungil, debu alam semesta. Lalu, lewat bait-bait doa dan harap mereka meminta agar Semesta mau memberkati mimpi-mimpi besar. Atau, mau menunda takdir-takdir menakutkan, seperti kematian.

Tentu saja, sebagai makhluk paling sempurna, manusia ingin diberkahi umur panjang. Segelintir manusia lantas akan melakukan segala cara agar tetap bugar dan tidak lekang dimakan usia, sebab kebugaran dan kematian kadang diletakkan dalam ranah sebab-akibat. Entah lewat pasang jimat atau lewat tindakan medis modern. Apapun, yang penting kematian akan menunggu mereka selama mungkin.

Terlepas dari itu semua, Tuhan dan tangan takdir-Nya sudah punya perhitungan dan pertimbangan sendiri. Suatu rumusan yang tiada akan pernah bisa dipecahkan makhluk bernama manusia.

Syaeful Cahyadi, penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

Editor: Bhagaskoro Pradipto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *