Bubur Ayam Pasar Pagi

“Abdi rindu sekali dengan ibunya, terlebih setelah beberapa malam berturut-turut Sang Ibu menyambanginya lewat mimpi.”

Pasar Pagi Salatiga sudah riuh semenjak ayam belum berkokok. Padahal hari sebenarnya belum juga pagi, cuma malam memang sudah hampir penghabisan. Tak usahlah ditanya bagaimana dingin dan sejuknya. Namun, tentu dengan mudah ditemui para penghuni pasar itu dengan lincah melesat kesana kemari. Mereka berpacu dengan waktu dan bersahabat dengan hawa dingin. Jarang yang mengenakan baju tebal semacam jaket atau sweater. Walau kadang rintik hujan ikut hadir menambah kesejukan, mereka tetap akan di sana. Mengais rejeki tepat di depan dagangannya.

Di sebuah sudut, ada anak kecil yang duduk beralas karung goni. Satu tangan memeluk dengkulnya sendiri. Tangan yang lain memegang pensil yang sisa tiga senti. Entah sebuah mobil atau kereta api yang akan digambarnya hari ini. Nanti jika matahari sudah agak lebih tinggi, dua lengannya yang kurus itu akan lebih lincah bergerak. Bukan hanya menyelesaikan gambarnya, ia juga dengan bangga membantu orang tuanya menyajikan mangkuk-mangkuk berisi bubur hangat untuk mengobati lapar para pengunjung pasar. 

Karung goni lusuh itu terhampar tepat di depan Toko Timur Terang. Seperti siang dan malam yang dipergilirkan, begitu juga waktu pencarian nafkah di pasar ini. Pagi buta hingga jam delapan adalah waktu keluarga anak itu berjualan bubur ayam. Setelah gerobak dan bangku-bangku plastik mereka rapi terkemas, pemilik Toko Timur Terang pun dengan sigap membuka tokonya. 

Tepat di sebelah hamparan karung goni yang diduduki bocah kecil itu, tampak seorang lelaki bertubuh jangkung sedang menaburkan suwiran ayam ke permukaan bubur yang sebelumnya sudah dikucuri kuah kaldu, butiran kacang, daun seledri dan bawang goreng itu. Sesekali diusapnya keringat yang menetes di pipinya. Kuah kaldu nan harum itu adalah rahasia dibalik kenikmatan bubur ayamnya. Ketika kuah itu bergumul dengan bubur yang masih setengah meletup, maka niscaya tercipta ledakan rasa nikmat tak tertandingkan.

Dialah Abdi, yang juga dikenal dengan sebutan Mas Jangkung karena postur tubuhnya yang tinggi. Di penghujung tahun 1989 ini, sudah tiga bulan semenjak emper Toko Timur Terang menjadi lahan barunya mengais rezeki, juga hampir setahun kepergian ibunya. Abdi rindu sekali dengan ibunya, terlebih setelah beberapa malam berturut-turut Sang Ibu menyambanginya lewat mimpi. Tapi sayang, dalam mimpi-mimpi itu, ibunya hanya menatap dan sesekali tersenyum saja. Abdi yakin ibunya selalu mengawasi dari alam sana. 

Jika dulu Ibu sering berbagi impiannya membuka sebuah warung di teras rumahnya, maka hari ini Abdi sedang berdiri menghadap gerobaknya sambil menatap mangkuk dan menghirup aroma kaldu dengan perasaan campur aduk. Abdi membatin, “Apakah ini yang diinginkan Ibu? Atau justru ini membuatnya malu dan menyesal telah melahirkanku?”

Dihelanya napas dengan berat seraya mengelap papan panjang tempatnya meracik bubur ayam. Matanya tertuju pada stiker bening nyaris transparan tertempel dengan gagah di kaca gerobaknya. Stiker biru itu bergambar lambang sebuah perusahaan umum milik negara, tempat ia pernah, dalam waktu teramat singkat, bekerja di sana. Tangan kurus Abdi meraba stiker itu sedang ingatannya melayang pada perbincangannya dengan ibunya beberapa waktu yang lalu. 

“Akhirnya ada juga yang menjadi pegawai negeri di keluarga kita. Anak lanangku menjadi abdi negara. Pas sekali dengan namamu, Le.” Ibu benar-benar sumringah.

“Lha ini pasti berkat doa Ibu.” Abdi nyaris menangis karena haru.

Lalu Ibu menyambung lagi, “Kamu ojo lali lho ya, bantu adik-adikmu. Kapan pun mereka membutuhkan.”

Abdi mengangguk. “Nggih, Bu. Saya akan bantu semampu saya.” 

Sang Ibu menghela napas, lalu pandangannya menerawang jauh keluar jendela. Seperti hanya itu satu-satunya cara bagi Ibu untuk kembali ke masa lalu sekaligus memandang masa depannya. Tapi yang begini sudah pasti akan membuat matanya berderai. 

“Aku yakin Bapakmu juga bangga, Di. Dulu kami cuma berharap bisa bertahan hidup dari hari ke hari. Jadi pembantu dan pekerja serabutan asalkan bisa makan. Kalau malam tiba, berarti kami diizinkan Tuhan untuk hidup hari ini. Dan kalau matahari sudah terbit lagi, bapakmu selalu mengajak Ibu untuk tetap berharap, kami masih bisa bernafas hingga malam nanti.”

Abdi mendekati Ibu dan mengelus punggungnya yang terlihat rapuh. Baginya tentu lebih mudah untuk bekerja lembur dibanding melihat ibu menangis. Lalu digenggamnya tangan Ibu yang hangat. “Bu, sudah jangan sedih lagi. Sekarang Ibu tinggal bilang saja, Ibu pengin apa?”

Ibu mengalihkan pandangan ke Abdi. Matanya masih berlinang, tapi kali ini ia tersenyum.

“Bagaimana kalau kita ke Bandungan? Kita makan sate dan menikmati keindahan Candi Gedong Songo, Bu.” Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Abdi. Mengapa tidak, Gedong Songo adalah tempat yang mereka kunjungi sekeluarga sebelum Bapak berpulang. 

Wajah Ibu beringsut murung. Dan Abdi menyesal terlanjur melontarkan ide itu. Namun sebelum permohonan maaf keluar dari mulutnya, Ibu sudah buru-buru kembali mengembangkan senyumnya. “Sabtu depan ya, Nak. Kita ke sana.” Seperti halnya Bapak, Ibu berpulang tak lama setelah perjalanan itu. 

Hari ini Abdi merasa hancur bukan karena rindu kepada Ibu, tapi karena tak bisa meneruskan pekerjaannya di perusahaan plat merah itu. Dan ini artinya ia tak lagi menjadi kebanggaan Ibu.

Abdi tersadar dari lamunannya demi mendengar teriakan istrinya. “Paaak! Pesanan yang tanpa kacang kok malah dikasih banyak kacang ini gimana to ya?”

Buru-buru Abdi menyambar mangkuk baru, mengambil secentong bubur sambil mengusap matanya yang basah. Tangannya gemetar sehingga centong bubur yang dipegangnya justru menyenggol dan menjatuhkan mangkuk yang tak berdosa. 

Semua mata tertuju pada Abdi yang berjongkok sambil sesenggukan, dengan kedua tangannya berusaha mengumpulkan pecahan mangkuk dan membereskan bubur yang berceceran. “Maafkan Bu, maafkan aku yang tak berguna ini…” Abdi masih saja sesenggukan.

Para pembeli melihatnya dengan iba. Salah satu di antara mereka berbisik pelan kepada kawan di sebelahnya, “Si Jangkung ini pasti depresi. Kamu tahu kan, dia terpaksa jualan bubur karena dipecat.”

“Iya aku dengar juga, gara-gara ketahuan kalau bapaknya ikut partai terlarang itu ya?”

“Ssstt… jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” 

Sang Istri lantas mendekat, mengelus pundak Abdi dengan lembut. “Sudah Pak, sini biar aku yang bereskan. Kita pulang cepat saja hari ini.”

Dengan sigap ia membereskan bangku dan mangkuk-mangkuk yang belum lagi tercuci. Dibimbingnya anaknya untuk berdiri dan melipat karung goni. Lalu gerobak yang masih setengah penuh dengan barang dagangan itu meluncur bersama pemiliknya meninggalkan pasar pagi, diiringi tatapan para pelanggan yang perutnya belum sempat terisi.

Tyas Ary Lestyaningrum, ibu rumah tangga yang gemar menulis.

Editor: Dessy Liestiyani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *