Belajar Hidup dari Kereta

“Dengan demikian, setiap perpisahan menjadi sebuah peluang untuk lebih menghargai dan merayakan hubungan yang telah kita miliki dalam hidup ini.”

Sudah sejak kecil saya berurusan dengan namanya kereta, bahkan cita-cita saya waktu kecil adalah menjadi masinis. Selain itu, rumah dan tempat jualan bapak saya juga persis di belakang stasiun. Sayangnya, rumah dan tempat jualan bapak saya sudah digusur untuk pelebaran stasiun.

Sekarang saya sudah kuliah semester empat, dan rumah saya sudah jauh dari stasiun. Namun saya masih juga berurusan dengan kereta. Sekarang masalahnya bukan lagi rumah dan tempat jualan bapak saya, tapi bahwa kereta adalah transportasi umum yang saya gunakan untuk berangkat ke kampus. Dan lucunya, stasiun yang saya kunjungi sekarang adalah tempat yang sama dengan rumah dan tempat jualan bapak saya dulu.

Kini, setiap saya menaiki kereta untuk pergi ke kampus, saya selalu tidak bisa menahan gejolak di dalam dada. Saya selalu terbawa ke dalam kenangan masa kecil saya. Kenangan indah yang tidak bisa dilupakan, namun tidak bisa diceritakan secara detail kepada orang lain karena hampir seluruh struktur bangunan stasiun kini telah berubah.

Meskipun stasiunnya telah berubah, hubungan saya dengan kereta tetaplah kuat. Kereta bukan hanya transportasi bagi saya, tapi juga merupakan simbol dari kenangan masa kecil, cita-cita, dan perjalanan hidup. Oleh karena itu, saya suka sekali bepergian naik kereta. Dan hebatnya di dalam perjalanan berkereta, beberapa kali saya mendapatkan pelajaran berharga tentang hidup.

Merenungkan Perpisahan

Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, saya mendapatkan momen-momen kecil yang berharga di dalam KRL Commuter Line. Waktu itu, KRL yang saya naiki berangkat dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Palmerah.

Saat KRL meluncur, saya melihat KRL lain yang bergerak seiringan, menuju stasiun Karet. Pemandangan ini pun terjadi di antara kebisingan mesin dan keramaian penumpang, hingga akhirnya KRL yang menuju stasiun Karet belok ke kiri sambil membunyikan klakson perpisahan yang penuh makna.

Momen ini memicu refleksi dalam diri saya, mengingatkan akan kata-kata bijak teman SMK saya yang bernama Fajar Ramadhan, “Pada akhirnya manusia akan berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Kalau misalnya mereka belum berpisah, mungkin tujuan hidup mereka masih sama. Atau tujuan yang berbeda, namun jalan untuk mencapai tujuannya masing-masing yang masih sama. Satu lagi, mungkin tujuannya masih sama, tapi maut lebih dahulu datang menghampiri.”

Kata-kata itu pun menggema di dalam pikiran saya, membawa saya pada pemahaman bahwa perpisahan adalah bagian alami dari perjalanan hidup. Momen perpisahan KRL ini mengajarkan saya tentang nilai kebersamaan dan hubungan yang telah dibangun di sepanjang perjalanan hidup. Meskipun nanti akan berpisah dan menjalani jalan yang berbeda, namun tetap terjalin rasa kebersamaan. Sebagaimana klakson yang dibunyikan sebagai tanda perpisahan yang penuh haru.

Momen perpisahan KRL ini bukan hanya sebuah kejadian biasa, tetapi juga sebuah cerminan tentang kehidupan. Di tengah kebisingan dan kesibukan, kita diberi kesempatan untuk merenungkan makna perpisahan. Dengan demikian, setiap perpisahan menjadi sebuah peluang untuk lebih menghargai dan merayakan hubungan yang telah kita miliki dalam hidup ini.

Peta Kehidupan

Bepergian jauh naik kereta, bagi saya adalah hal yang menyenangkan. Bulan Agustus di tahun 2023 saat libur semester kedua, saya memilih naik kereta api untuk pergi ke Surabaya, walaupun naik bus lebih menguntungkan karena dapat makan dan fasilitas yang bagus dengan harga yang tidak jauh berbeda.

Di stasiun Cirebon kereta berhenti. Lalu saya mengambil kesempatan untuk membakar sebatang rokok. Beberapa menit kemudian, kereta membunyikan klakson tanda keberangkatan. Saya masuk kembali ke gerbong dan kereta pun berangkat. Dan kejadian ini berulang kembali, entah di Stasiun Semarang, dan stasiun lainnya.

Dalam perjalanan ini, tiba-tiba saya teringat oleh peta kehidupan Imam Kurniadi yang berjudul The Long Journey to Eternity. Dari pengalaman merokok di peron stasiun, saya mulai merasakan bahwa hidup di dunia ternyata begitu singkat, dan saya mulai menyetujui kalimat, “Mati itu bukan akhir kehidupan. Kematian adalah perpindahan ke alam lain.”

Kehidupan Orang Dewasa

Selain belajar tentang peta kehidupan, saya juga mendapatkan pelajaran tentang kehidupan di masa dewasa. Saya menganalogikan kehidupan di masa dewasa seperti kereta jarak jauh. Karena untuk mencapai stasiun terakhir, kereta hanya berhenti di stasiun-stasiun tertentu saja. Sama halnya dengan kita yang hanya mau bermain dengan orang-orang yang menguntungkan saja.

Memang kehidupan yang baik selayaknya seperti ini. Dan, tidak ada yang salah dengan kehidupan seperti ini. Mungkin sudah kodratnya manusia untuk terus berkembang. Namun entah kenapa, tiba-tiba di dalam perjalanan ini saya rindu dengan masa remaja saya. Masa di mana saya bebas berteman dengan siapa saja, tanpa harus peduli untung rugi atau baik buruk.

Saya jadi teringat sebuah kutipan anonim, ”Saya ingin kembali ke masa lalu, tapi sayangnya saya juga punya masa depan.”

Muhammad Ridwan Tri Wibowo, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta

Editor: Bhagaskoro P. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *