Goyangan Pangan

“Salah satu jenis pekerjaan yang pendapatan pelakunya sangat rendah adalah petani pangan.”

Rupanya, bukan hanya dangdutan yang bisa membuat goyang. Bahkan, goyangan kali ini bisa berpuluh kali lipat dampaknya. Salah-salah, akan membuat negara roboh, paling tidak mengganggu stabilitas keamanan nasional. Apalagi kalau bukan soal pangan, yang menjadi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia. 

Atas dasar itu pula, saya menduga beras sebagai bahan pangan pokok telah menjelma menjadi komoditas politik yang dijaga sangat sensitif setiap pergerakannya. Pemerintah harus menjaga dua hal sekaligus: menjaga pendapatan petani dan menjaga kebutuhan konsumen. 

Ibarat ring tinju, kesejahteraan petani berada di pojok kanan, kebutuhan konsumen di pojok kiri. Kalau dibiarkan, katakanlah tanpa sentuhan pemerintah, kedua pojok ring itu akan baku hantam.

Menjaga keseimbangan antara ketersediaan (supply) dengan kebutuhan (demand) bukan perkara mudah. Sebagaimana yang Anda tahu, salah satu jenis pekerjaan yang pendapatan pelakunya sangat rendah adalah petani pangan. 

Sesekali, coba Anda tanyakan kepada tetangga yang berprofesi sebagai petani pangan, berapa pendapatan mereka setiap panen, lalu konversi ke pendapatan setiap bulannya. Kalau Anda berdomisili di perkotaan, saran saya, main-mainlah ke pinggiran, temui mereka, seperti Bung Karno menemui Marhen, apalagi jika Anda pegawai pemerintah. Tanyakan keluh kesah mereka, jika perlu berlagak lah Anda sebagai petani pangan, walau dalam waktu satu-dua jam.

Berbeda dengan petani sawit, petani kakao, dan petani lainnya, petani pangan ini paling penting keberadaannya, namun bertolak belakang dengan nasibnya. Bagaimana jika petani pangan itu berhenti berproduksi? Pertama, pemerintah akan kehilangan “mainan”, tidak bisa lagi gagah-gagahan swasembada pangan sampai pernah mendapatkan penghargaan dari lembaga pangan dunia. 

Seterusnya, harga pangan akan naik, bukan hanya pasar lokal, tapi akan mempengaruhi pasar internasional. Selebihnya, kita harus merevisi istilah “negara agraris” yang sudah tertulis di berbagai naskah. Masak iya, negara agraris pangannya saja impor. 

Kita bisa membaca berbagai literatur yang menyebabkan kondisi kemiskinan di kalangan petani pangan ini. Yang paling mencolok adalah luas lahan yang terbatas, produktivitas yang rendah, dan tentunya harga yang parah.

Petani hanya memiliki luas lahan sekitar 0,3 ha. Itupun digunakan secara bergantian untuk berbagai jenis komoditas. Sekali waktu tanam padi, waktu yang lain tanam jagung. Lahan yang sempit dan produktivitas yang rendah akan berdampak terhadap hasil produksi petani. 

Hasil produksi sekali panen hanya cukup untuk bertahan hidup sebelum masuk masa panen berikutnya. Itupun, kalau tidak banjir, tidak diserang hama, tidak mengalami El Nino. Kalau gagal panen, situasi akan jungkir balik, belum ada asuransi yang berani menjamin. 

Makanya, jangan heran jika petani tidak ada waktu untuk menabung, untuk menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi atau menyiapkan jaminan hari tua. Kondisi inilah yang menyebabkan anak petani punya kecenderungan akan menjadi petani, bukan karena pilihan, tapi karena ketidakberdayaan.

Situasi ini diperparah dengan dikontrolnya harga oleh pemerintah. Petani tidak boleh menjual harga gabah di atas harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Harga beras tidak dilepaskan sesuai mekanisme pasar, pemerintah terlalu ketat mengaturnya.

Namun, pemerintah berlaku fair, jika terjadi panen raya yang menyebabkan suplai meningkat. Pemerintah melalui instansi yang telah ditunjuk membeli gabah dengan harga yang tidak terlalu jatuh sebagaimana yang terjadi dalam mekanisme pasar. 

Dalam kadar tertentu, pemerintah juga membantu petani melalui subsidi input. Mengenai ada yang masih kurang tepat, itu adalah hal berikutnya yang harus dirapikan. Itu baru dari sisi input. Belum lagi infrastruktur, entah sudah berapa triliun anggaran dihabiskan untuk membuat saluran irigasi, mulai dari yang primer, tersier, hingga jalan menuju lahan pertanian.

Jika dikonversi menjadi rupiah, sudah terlalu besar perhatian pemerintah terhadap sektor ini yang kontribusinya terhadap PDB semakin lama semakin turun. 

Pangan, terutama beras sebagaimana saya sebut di awal tadi, bukan hanya sekedar urusan pertanian, urusan menampung tenaga kerja, tapi juga menyangkut stabilitas negara. Makanya, tidak kurang dari empat instansi pemerintah mengurusnya.

Kementerian Pertanian adalah leading sektor dalam hal produksi. Lembaga ini menyiapkan mulai dari data, sampai anggaran terhadap kebutuhan produksi pangan di Indonesia. Berikutnya, jika terjadi surplus atau minus, Kementerian Perdagangan yang akan mengatur kuotanya.

Selanjutnya, Badan Urusan Logistik (BULOG) yang menjadi “gudang”nya pangan, yang secara teknis bertanggung jawab terhadap ketersediaan pangan di Indonesia. Termasuk, jika produksi dalam negeri tidak mencukupi harus melakukan impor.

Lembaga terakhir dan juga pamungkas keberadaannya adalah Badan Pangan Nasional. Lembaga ini baru saja berdiri. Tujuannya juga tidak jauh-jauh dari mengurus soal pangan. Mungkin, untuk mempersingkat birokrasi.

Sebegitu penting dan strategisnya urusan pangan ini. Di dalam ruang-ruang yang sempit, kita juga patut mencurigai kegiatan pemenuhan pangan sebagai komoditas politik. Pemerintah, sebagai “wasit” tidak boleh berlaku curang, apalagi ikut menggebuki nasib petani dengan cara melakukan impor beras di saat menjelang panen raya.

Oleh karena itu, impor beras yang baru saja dilakukan itu harus dipastikan tidak ada kepentingan lain selain kepentingan pemenuhan cadangan pangan di Indonesia. Jangan ada perselingkuhan antara pemerintah sebagai regulator dengan pihak swasta selaku cukong. Jangan ada selisih bayar satu rupiah pun dalam setiap transaksi impor beras itu.

Sesekali, entah kapan, perlu juga kita coba untuk melepas urusan pangan ini menjadi urusan yang biasa. Urusan yang tidak perlu diurus oleh 4 lembaga pemerintah. Tentunya, setelah konsumsi pangan kita tidak lagi seragam, konsumsi beras sudah di bawah 50 kilogram per orang per tahun, sudah tersedia berbagai jenis pangan penghasil karbohidrat selain beras. Dan, yang paling penting adalah tidak sampai membuat pemerintah oleng dan bergoyang.

Alja Yusnadi, Peminat isu-isu ekonomi pertanian, kolumnis Ghibahin.id.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *