Indonesia dan Perubahan Landscape Peradaban Dunia

“Siapa yang memiliki akumulasi sumber daya yang lebih besar itu yang akan memenangkan pertempuran.”

Sejarah perjalanan bumi dan kehidupan memberikan banyak warna. Banyak sekali perubahan jika diukur dari satu titik waktu ke titik waktu lainnya. Kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari lubang jarum yang sempit, sampai lubang yang menganga.

Perubahan-perubahan itu tidak dapat dibendung. Dia terus berdinamika mencari bentuk terbaiknya. Apa yang kita anggap tabu di satu titik waktu, akan menjadi hal biasa saja bahkan diperlukan di titik waktu yang lain.

Setidaknya, ada beberapa hal yang menyebabkan perubahan radikal dalam perjalanan bumi dan manusia. Dalam kesempatan ini, saya menulis beberapa diantaranya; perang, bencana alam, pangan dan sains. Anda, bisa setuju, boleh juga tidak, boleh juga menambahkan, tidak ada soal.

Perang, sebagaimana yang Anda tahu memberikan daya rusak yang tidak alang-kepalang. Muncul dan runtuhnya satu peradaban tidak bisa dielakkan dari perang. Satu entitas kekuasaan menaklukkan entitas kekuasaan yang lain —biasanya yang lebih kecil— dengan cara menaklukkan fisiknya. Biasanya, siapa yang memiliki akumulasi sumber daya yang lebih besar itu yang akan memenangkan pertempuran.

Anda bisa menyusun sederet fakta, mulai dari zaman kerajaan, sampai era modern. Bagaimana perang itu telah mengubah suatu peradaban. Penaklukan perang biasanya disertai dengan penaklukan budaya beserta sekelumit perangkat yang menyertainya.

Cukup banyak alasan kenapa harus perang. Yang paling menonjol adalah kehendak untuk menguasai sumber daya alam daerah jajahan. Indonesia pernah merasakannya, Belanda melalui persekutuan dagangnya ingin menguasasi rempah-rempah nusantara.

Berikutnya adalah bencana alam. Ada banyak sekali bencana alam yang telah mengubah perjalanan dunia. Mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir, sampai kepada wabah. Masing-masing dari bencana alam telah ikut mengubah landscape peradaban. 

Lihat saja dua peristiwa besar dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Bagaimana dahsyatnya tsunami yang menyapu pinggiran pantai di Aceh dan sekitar. Ratusan ribu orang menjadi mayat hanya dalam hitungan menit. Tentu, yang lebih hangat lagi adalah Covid-19. Saya tidak usah mengulas bagaimana luar biasanya dua bencana itu bekerja dan perubahan apa saja yang telah terjadi.

Hal yang tidak kalah penting adalah masalah pangan. Pangan akan menjadi perhatian serius semua bangsa di dunia ini. Bukan apa-apa, selama manusia masih membutuhkan makan untuk hidup, selama itu pula pangan ini akan menjadi topik yang tidak habis dibicarakan, bahkan diperebutkan.

Perang, salah satunya terjadi untuk merebut akses terhadap penguasaan sumber pangan. Sejak zaman pra-sejarah, pusat kehidupan berkelindan di sekitar sumber pangan. 

Semakin kemari, kebutuhan pangan kian mendesak. Bayangkan saja, jumlah manusia yang terus bertambah bertolak belakang dengan jumlah lahan yang terus menyempit. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah menekan permintaan dan meningkatkan penawaran, betapapun sulitnya harus dilakukan.

Menekan angka pertumbuhan penduduk sepertinya hanya ampuh jika ada bencana alam. Dari sisi permintaan, manusia jangan hanya tergantung terhadap satu atau dua jenis pangan saja, beras misalnya. Manusia harus menurunkan ketergantungannya terhadap beras. Harus mencari substitusi yang cocok. Sementara itu, dari sisi penawaran harus ditingkatkan jumlah produksi melalui intensifikasi dan diversifikasi. 

Perang, bencana alam, pangan, saling mempengaruhi. Lihatlah, bagaimana perang Ukraina berdampak terhadap pasar gandum internasional. Ketidakstabilan dalam negeri Ukraina mempengaruhi harga mie instan di Indonesia. 

Dan yang terakhir adalah sains. Keberadaan sains, setidaknya dalam kurun waktu satu abad terakhir sangat terasa. Kemajuan teknologi telah mengubah tatanan dunia. Namun, dengan sains pula, berbagai macam reduksionisasi terjadi. 

Sains menjadi pusat dari peredaran perang, bencana alam dan pangan. Melalui kebijaksanaannya, sains telah menciptakan berbagai perlengkapan perang. Tidak ada negara kuat di dunia ini yang tidak memiliki senjata dengan hulu ledak yang dapat menjangkau radius sejauh mata memandang.

Bencana yang terjadi akibat gejala alam dapat dideteksi dan dikendalikan dengan bantuan sains. Misalnya, di daerah rawan gempa, sains telah menemukan bagaimana konstruksi bangunan yang ramah terhadap goncangan dalam skala tertentu. Begitu juga tsunami, dapat dideteksi lebih awal jika ada gejalanya.

Sains juga berkontribusi besar untuk menjamin pangan sampai ke rumah tangga. Rekayasa genetika, industri otomotif pertanian, industri pupuk merupakan perwujudan sains dalam subsistem agroinput. Intensifikasi, diversifikasi, wilayah kerja sains dalam subsistem agroproduksi. 

Begitu juga dengan adopsi teknologi dalam menunjang kinerja pemasaran merupakan kontribusi sains terhadap agromarketing. Tidak ada subsistem yang stagnan, semuanya sudah berkembang.

Sebagai negara yang memiliki sumber daya pertanian yang memadai, sudah saatnya Indonesia menjadi aktor utama dalam menciptakan dan mengembangkan sains dalam lingkup agribisnis. 

Indonesia jangan hanya terpaku kepada kuantitas produksi, tapi harus memikirkan mulai dari industri hulu, onfarm, dan industri hilir. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi negara kuat yang akan diperhitungkan oleh dunia internasional.

Alja Yusnadi, sedang menyelesaikan Studi Doktoral di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *