Inflasi dalam Gejolak Isu Tiga Periode

ghibahin

..daripada sibuk-sibuk ngurusi “tiga periode”, lebih baik bersama-sama mengatasi inflasi, demi stabilitas dalam negeri..”

Masa kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden Indonesia tidak lama lagi akan berakhir. Ibarat pesawat, saat ini adalah masa bersiap untuk landing. Berbagai persiapan sudah dilakukan, mulai dari membangun tol—baik di darat, maupun di laut—desentralisasi fiskal, sampai dengan kebijakan luar negeri yang proaktif. Salah satunya adalah menjadi pemimpin G-20, persekutuan negara-negara berpenghasilan tinggi.

Keberhasilan Jokowi sudah banyak diulas, demikian juga kekurangannya. Secara agregat, saya melihat lebih banyak keberhasilannya. Namun, belakangan ini Jokowi mulai diusik, terutama oleh lawan politiknya, yakni isu “tiga periode” yang fenomenal itu.

Sebenarnya, upaya untuk mengusik ini sudah dilakukan sejak periode pertama. Isu yang diangkat tidak jauh-jauh dari politik identitas. Hal ini biasa terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun jika tidak diatasi, maka stabilitas negara akan terganggu. Karena, tanpa disadari, kita semua tengah dihantui oleh ancaman inflasi.

Kondisi ekonomi-politik global menyebabkan kekacauan di beberapa negara. Sri Lanka dan Pakistan  sudah merasakannya. Konflik militer Rusia-Ukraina memperparah situasi, harga-harga merangkak naik, terutama gandum dan bahan bakar minyak yang diimpor dari kedua negara yang sedang berkonflik itu. Unjuk rasa terjadi di mana-mana. Oposisi di parlemen Pakistan menggalang kekuatan, melakukan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri. Hasilnya, Khan—sang Perdana Menteri akhirnya lengser.

Indonesia, sebagai negara ekonomi terbuka, tidak bisa lepas dari kondisi tersebut. Dampaknya pun tidak kalah dari erupsi gunung berapi. Pergolakan harga minyak dunia, mau tidak mau berpengaruh terhadap harga minyak dalam negeri. 

Pilihannya, antara menaikkan harga atau disubsidi oleh APBN. Dalam hal ini pemerintah berdiri di tengah, menaikkan harga Pertamax dan tetap menyubsidi harga Pertalite. Di satu sisi, logika ini dapat kita pahami, Pertamax digunakan oleh menengah ke atas, sementara Pertalite digunakan kalangan bawah. Namun, di sisi lain, ada pihak yang memanas-manasi situasi karena kenaikan ini. Ini juga penting, untuk mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, baik fiskal maupun moneter. 

Sebelum harga Pertamax naik, harga-harga barang sudah mulai merangkak naik. Walaupun pelan, namun pasti, terutama harga minyak goreng yang belum lama ini langka di pasaran, dan pada akhirnya “tangan setan” yang tidak nampak membentuk harga baru. Di saat barang langka, harga naik, kali ini berlari, bukan merangkak. Itulah mekanisme pasar.

Kenaikan harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit di pasar internasional, ikut menyebabkan terganggunya pasokan terhadap pasokan input produksi minyak goreng. Di saat harga di pasar internasional lebih tinggi, ekspor pasti meningkat. 

Namun, kelangkaan minyak goreng itu juga disebabkan oleh “mafia” pasar yang melihat ada lubang yang menganga dalam mekanisme pemasaran minyak goreng. Pada suatu waktu, minyak goreng ditahan, tidak dilepas ke pasar. Kelangkaan menyebabkan harga naik. Seperti peluru kendali, minyak goreng dengan kemasan yang belum pernah terlihat sebelumnya, dilepas ke pasar dengan harga yang lebih mahal. Kemungkinan berikutnya juga terjadi di pasar ekspor. 

Kenaikan harga barang ini, pada titik tertentu akan menyebabkan inflasi. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia. Bahkan Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki ekonomi terkuat juga mengalami inflasi sebesar 7,9%, Inggris 6,1%, Jerman 5,5%. Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal tahun 2022 mengalami inflasi sebesar 2,64%.  

Berbagai peristiwa itu membentuk sentimen negatif kepada pemerintah. Ditambah lagi dengan komentar dari para pembantu Presiden yang tidak memiliki sensitivitas publik. Seharusnya, mereka dapat membantu Presiden untuk mengatasi situasi yang tidak sedang baik-baik saja ini, melalui kebijakan makro ekonomi yang tepat dan bertanggung jawab.

Seyogyanya, perdebatan tentang semua itu cukup terjadi di Senayan saja, tempat berkumpulnya para wakil rakyat yang secara konstitusional dapat mendebat pemerintah mengenai berbagai kebijakan yang keblinger. Bahkan, para wakil rakyat itu diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menuntut Presiden karena kebijakannya.

Sayangnya, kubu oposisi—yang tidak mendukung pemerintah—di Senayan juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak sanggup membangun koalisi yang kuat dan kokoh. Seperti biasa, di saat parlemen gedongan macet, di saat itulah “parlemen jalanan” menjalankan fungsinya.

Jokowi dan partai pengusung harus mampu melihat permasalahan ini dengan jernih. Sudah beberapa kali resesi setelah tahun 1998 mampu dilewati oleh Indonesia dengan gejolak yang tak begitu berarti. Himpun semua kekuatan untuk menghadapi krisis global ini.

Dampak paling besar dari inflasi adalah menurunnya daya beli rumah tangga. Daya beli akan memengaruhi jumlah produksi barang dan jasa yang pada ujungnya akan menurunkan kinerja perekonomian Indonesia. Pemerintah harus menjaga kemampuan daya beli ini.

Pakistan dan Srilanka memang tidak serupa dengan Indonesia. Kemampuan fiskal dan gejolak politik di kedua negara tersebut berbeda dengan Indonesia. Namun, Jokowi tetap harus berhati-hati. Jangan sampai blok politik di luar pemerintah menggunakan instrumen ini untuk mengguncang pemerintah.

Jokowi jangan pernah ragu untuk mengganti menteri yang kerjanya tidak beres, apalagi yang terindikasi bermain dengan kepentingan rakyat banyak seperti minyak goreng. Singkatnya, dari pada sibuk-sibuk ngurusi “tiga periode”, lebih baik bersama-sama mengatasi inflasi, demi stabilitas dalam negeri. [red/rien/bp]

Alja Yusnadi, Penulis, Ghibaher yang tinggal di Aceh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *