Naiknya Mendag Zulkifli dan Turunnya Harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit

“Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang memiliki peran yang sangat penting bagi neraca perdagangan Indonesia.”

Harga minyak goreng curah sudah mulai turun. Di beberapa warung yang dekat dengan pasar rakyat, harganya hampir mencapai titik jual maksimal. Begitu juga yang kemasan, harganya sudah mulai turun. Untuk ukuran kemasan 1 liter sudah mencapai harga 24 ribu rupiah.

Seperti yang Anda tahu, minyak goreng ini pernah menjadi masalah nasional, sampai-sampai Presiden mengumumkan sendiri pelarangan ekspor CPO—bahan baku pembuat minyak goreng—sebagai respon atas tingginya harga minyak goreng dalam negeri.

Titik baliknya, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan—yang juga Ketua Umum PAN—untuk menggantikan M. Luthfi. Presiden pasti memiliki pertimbangan tersendiri perihal pergantian itu. Selain “imbalan” kepada PAN yang sudah bergabung bersama koalisi pemerintah, pergantian itu juga ada kaitannya dengan gejolak minyak goreng tadi.

Saya perkirakan, inilah yang menjadi tugas utama Zulhas sebagai Mendag. Rupanya, pelarangan ekspor CPO itu menimbulkan masalah lain: turunnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Dari harga yang hampir menyentuh harga 4 ribu rupiah per kilogramnya, perlahan turun, sampai di bawah harga seribu rupiah per kilogramnya. Petani sawit menjerit, terutama petani swadaya yang menanam kelapa sawit dengan uang pribadi.

Kelapa Sawit merupakan tanaman perkebunan. Banyak perusahaan dengan berbagai ukuran, baik swasta maupun BUMN terlibat di dalam agrobisnis sawit, mulai dari penyediaan input, budidaya, pengolahan, sampai ekspor.

Namun, tidak semua milik perusahaan, terutama di subsistem agroproduksi atau budidaya atau usaha tani. Ada sekitar 2,7 juta kepala keluarga (KK) yang menggantungkan ekonomi keluarga dengan menanam sawit. Mereka disebut Perkebunan Rakyat, dengan lahan tidak boleh melebihi 25 Ha. 

Di saat harga TBS murah seperti sekarang ini, petani sawit menjerit. Apalagi, jika harus menutup beban pembiayaan perbankan. Ini juga yang harus diurus Mendag. Bagaimana mendorong harga TBS kembali bergeliat, terutama penyebab karena regulasi.

Sebenarnya, mengurus kelapa sawit, termasuk harga TBS, bukan hanya mengurus nasib petani swadaya yang mengusahakan Perkebunan Rakyat itu. Jauh lebih penting, kelapa sawit merupakan komoditas ekspor yang memiliki peran yang sangat penting bagi neraca perdagangan Indonesia. Ekspor minyak sawit dengan berbagai variannya menjadi andalan di luar sektor minyak dan gas.

Minyak sawit berkontribusi sekitar 17 persen terhadap kinerja ekspor Indonesia. Menurut data Kementerian Perindustrian, tahun 2021 ekspor produk sawit sekitar 40,31 juta ton dengan nilai ekspor USD 35,79 Miliar.

Selain itu, agrobisnis sawit ini menyerap tenaga kerja sekitar 4,2 juta orang secara langsung dan 12 juta orang tenaga kerja yang terlibat secara tidak langsung. Dengan demikian, dapat dikatakan kontribusi kelapa sawit ini tidak alang-kepalang. Belum ada komoditas pertanian lain yang mampu menyaingi kontribusi sawit ini.

Jika harga TBS tidak segera menanjak naik, ini bisa menjadi kerugian besar bagi Indonesia. Hal inilah yang diharapkan oleh beberapa negara lain yang selama ini menjadi kompetitor Indonesia sebagai produsen minyak nabati, seperti negara produsen soiben, minyak bunga matahari. Bukan apa-apa, dalam jangka panjang, harga seperti sekarang akan menyebabkan produktivitas menurun.

Padahal, selama ini sawit sudah berhasil melawan kampanye negatif yang dilancarkan negara kompetitor. Lihat saja bagaimana dengan jahatnya mereka menuduh sawit sebagai tanaman yang tidak ramah lingkungan, menyerap banyak unsur hara tanah, dan lain-lain. Padahal, sawit menyerap paling banyak karbondioksida, yang berkontribusi positif menekan laju pemanasan global.

Secara ekonomis, sawit sangat kompetitif jika dibandingkan dengan Soiben, bunga matahari. Baik dari produktivitas maupun efisiensi. Sampai saat ini, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia bersama Malaysia. 

Mendag dan kementrian atau lembaga lainnya harus segera menemukan jalan keluar agar harga TBS kembali naik dan petani sawit kembali bergeliat. Menteri Keuangan harus menghentikan sejenak berbagai bentuk pengutipan terhadap produk sawit ini, paling tidak sampai harga TBS kembali stabil. 

Memastikan harga minyak goreng yang dapat dijangkau oleh rumah tangga itu penting. Namun, mengembalikan harga TBS sawit ke jalur awal juga tidak kalah penting. 

Kalau harga minyak goreng saja dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dengan melakukan pasar murah atau gerebek pasar, mengapa harga TBS sawit di pasar justru mahal? Pemerintah tidak mungkin memberlakukan skema subsidi, bisa koyak nanti APBN kita. 

Apapun ceritanya, pemerintah harus segera menemukan formula kebijakan agar harga TBS sawit kembali ke jalur yang benar. Jangan sampai, Mendag Zulhas naik untuk menstabilkan minyak goreng, justru diganti lagi karena harga TBS tidak kunjung naik. 

Alja Yusnadi, sedang menyelesaikan Studi Doktoral di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University.

[red/rien/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *