Sisi Gelap Lomba Gerak Jalan di Desa

“Sangat disayangkan, antusiasme dan semangat warga tidak diiringi penilaian yang valid dan adil.”

Bagi orang desa seperti saya, menonton keramaian adalah hiburan tersendiri. Karena itu bulan Agustus kemarin adalah salah satu bulan yang sering ditunggu-tunggu. Sebab, banyaknya acara dan lomba-lomba yang meriah akan digelar serentak. Mulai dari lomba-lomba yang sifatnya individu sampai kolektif. 

Salah satu lomba tersebut adalah gerak jalan. Di kampung saya, lomba ini cukup digemari. Pesertanya pun lumayan banyak. Mulai dari perwakilan komunitas, RT/RW, sampai anak-anak sekolah. Meski cuma sebatas lomba desa, tapi warga antusias sekali lho. Bahkan, latihan gerak jalan saja banyak yang nonton. Serius. Saya pun baru sadar kalau kami begitu menyukai keramaian.

Sayangnya, antusiasme tersebut menyisakan hal abu-abu. Saya cukup sedih kalau lomba satu ini sejak dulu sering tidak transparan dalam penilaian. Saya juga bingung kenapa demikian. Sangat disayangkan, antusiasme dan semangat warga tidak diiringi penilaian yang valid dan adil. Jika dibayangkan, para peserta ini sudah berlatih berbagai variasi dan gerakan sampai iuran untuk beli seragam. Namun, hasil yang didapat seringnya timpang.

Hal yang sering terjadi adalah juri berasal dari pihak panitia sehingga pemenang dianggap tidak jauh dari berafiliasi dengan panitia. Praktik seperti ini memang biasa terjadi. Sudah menjadi rahasia umum. Wargapun sebenarnya sudah paham sehingga banyak yang ikut sekadar untuk seru-seruan, lucu-lucuan, dan tanpa ada niatan untuk menang. Sebab, tujuan utama memang untuk memeriahkan saja, karena itu banyak yang niat pakai kostum lucu dan gerakan yang aneh-aneh.

Meski demikian, tetap saja fenomena ini perlu dibenahi. Memeriahkan itu satu hal dan berlaku adil adalah hal lain lagi. Harus ada indikator jelas siapa pemenangnya, apa yang dinilai, dan sebagainya.

Dulu, ada desas-desus kalau juri akan menyamar sebagai warga sekitar yang menonton. Jadi mereka tidak berpakaian khusus, tidak bawa catatan, dan sebagainya. Terlepas kebenarannya, ini adalah cerita yang turun temurun dan melegenda. Tentu saja dalam praktiknya tidak pernah ditemui juri yang demikian. Hal tersebut hanya akal-akalan saja agar peserta mau untuk menyelaraskan gerakan satu sama lain dari garis start sampai finish.

Masih menyoal juri, kalau direnungkan, memangnya juri yang kompeten untuk lomba gerak jalan tuh yang siapa? Polisi, paskibra, atau mantan pemenang lomba gerak jalan tingkat nasional? Tentu akan ada banyak jawaban mengenai itu. Namun, yang sering terjadi, juri tersebut adalah panitia, perangkat desa, sampai bapak-bapak random yang agak dipertanyakan kompetensinya.

Selain itu, jarak juga perlu dipertanyakan. Memang, jarak 2–3 km masih masuk akal. Tapi ada lho yang jaraknya 7–12 km. Serius, memang ada yang demikian. Memangnya apa yang mau dinilai dengan jarak yang fantastis tersebut? Kebayang nggak sih, harus kompak jalan sesuai aturan dengan jarak sejauh itu? Belum lagi kondisi jalan nggak kondusif. Sering bertemu kendaraan atau kadang disalip peserta lain. Nggak kondusif pokoknya.

Kalau sekadar memeriahkan, saya kira nggak perlu sejauh itu jaraknya. Karnaval saja, yang notabene nggak harus menyamakan kaki kiri dan kanan, jaraknya nggak segitu lho.

Sebagai penutup, saya perlu menegaskan bahwa posisi saya di sini bukan untuk mengatakan bahwa lomba gerak jalan ini tidak perlu diadakan. Bukan. Saya justru menikmati antusias dari warga setempat. Saya hanya menyayangkan saja. Sebab pasti ada atau banyak peserta yang memang berniat untuk juara. Mereka sudah berlatih setiap hari meluangkan waktu, tenaga, materi, dan rela panas-panasan di jalanan. Eh, ternyata pemenangnya bukan siapa yang terbaik tapi siapa yang paling “dekat” dengan panitia.

Lantas apa nggak kasian? Yo mesakke, Buosss! 

Afiqul Adib, Copywriter. Tenaga Pengajar. Tinggal di Lamongan.

Editor: Syaeful Cahyadi-Bhagaskoro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *