Dicari: Pawang!

Pawang

“Poin pentingnya adalah aspek kebergunaan. Baik pengetahuan maupun sains keberadaannya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia.”

Sebelumnya saya kira, pawang itu hanya ada di Aceh. Bukan apa-apa, Aceh memiliki banyak sekali Pawang, mulai dari Pawang Laot, Pawang Gluh, Pawang Rimung, Pawang Buya, sampai kepada hak pawang. 

Baik, akan saya jelaskan perlahan biar tidak roaming. Pawang itu, menurut penggunaan istilahnya berarti orang yang ahli, orang yang menguasai bidang yang ditekuninya. 

Pawang Laot itu berarti Pawang Laut, istilah ini disematkan kepada nelayan yang bukan hanya ahli menahkodai perahu, tapi juga bisa membaca tanda-tanda alam di laut. Contohnya, Pawang Jalai. Jalai itu nama orang: Jalaluddin. Karena profesinya tersebut, orang-orang memanggilnya Pawang. Kebetulan dia adalah kakek saya. 

Saya pernah melihat keahlian Pawang Jalai “memotong” angin yang berputar. Saat itu kami dalam perjalanan dari Pulau Banyak ke Tapaktuan, cuaca kurang bagus. Di laut lepas, dari arah yang berlawanan, terdengar suara angin dan menggumpal, seperti tornado. Seketika Pawang Jalai beranjak ke depan perahu. Dia mengeluarkan “pisau” yang tidak lain adalah tangannya sendiri. Dia menggerakkan seperti gerakan memotong, dan seketika gumpulan itu pecah di hadapan perahu yang kami tumpangi.

Gluh itu artinya rusa, Rimung artinya harimau, Buya itu buaya. Jadilah Pawang Rusa, Pawang Harimau, Pawang Buaya, orang yang ahli dalam menangkap rusa, menangkap harimau dan menangkap buaya. Ketiga hewan itu termasuk liar, tidak semua orang bisa menjinakkannya, kecuali Sang Pawang.

Begitulah orang Aceh menghargai pengetahuan, keahlian. Jika Anda, suatu saat berdomisili di Aceh, menikah dengan orang Aceh, dan memiliki keahlian, bersiap-siaplah Anda dipanggil pawang. Bagaimana dengan hak pawang? Kalau ini, lain lagi perkaranya, kita bahas di lain waktu, agar tidak terendus oleh KPK. Hahaha.

Walaupun istilah pawang itu sudah saya dengar sejak kecil, namun kehebohannya terasa baru sekarang. Penyebabnya, Anda sudah tahu: peristiwa MotoGP Mandalika tahun 2022. Setelah 25 tahun, Indonesia kembali menjadi tuan rumah ajang balap motor besar itu. Persiapannya luar biasa. Pemerintah mengalokasikan anggaran lebih satu triliun rupiah, demi menyukseskan gelaran itu. Bahkan panitia sampai menyediakan secara khusus Pawang Hujan.

Anda boleh sepakat boleh tidak dengan sikap pemerintah tersebut. Harapannya, pagelaran MotoGP tersebut dapat mendongkrak perekonomian Indonesia yang sedang lesu dihantam Covid-19, terutama dari sisi pariwisata. Mandalika dan Lombok memang terkenal keindahan alamnya untuk dijadikan destinasi pariwisata. Semoga MotoGP ini menjadi “Bali Beats of Paradise” untuk pariwisata Lombok. 

Saya tidak tahu, apakah panitia lokal sengaja menyiarkan atraksi Pawang Hujan itu? Jelasnya, dalam seminggu ini pembahasan masih di sekitar Pawang Hujan. Seorang perempuan, tidak terlalu muda dan tidak pula terlalu tua, berjalan di kawasan arena balap MotoGP. Dia membawa alat seperti mangkok. Kalau dalam bahasa Aceh disebut Ceurana.

Ceurana biasa digunakan di saat pesta pernikahan untuk menaruh sirih, pinang, gambir, dan seterusnya. Ceurana menghasilkan suara, saat alat itu dipukul. Suara itulah yang menurut Sang Pawang dapat mengurai cuaca, melalui “frekuensi” yang diyakininya.

Fenomena itu ditanggapi banyak pihak, termasuk penyelenggara MotoGP. Bahkan, akun media sosial MotoGP, menyebut aksi Pawang Hujan itu berhasil, hujan berhenti, dan balapan dapat dimulai. Di Indonesia, tanggapan beragam. Seperti biasa, ada yang pro dan ada yang kontra, bahkan ada yang menganggap klenik. 

Semua bebas berpendapat, apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia. Untuk sesuatu yang sudah pasti kebenarannya saja bisa diperdebatkan, apalagi hanya soal Pawang Hujan, ruang perdebatan itu terbuka lebar. 

*****

Untuk memahami situasi ini, saya teringat dengan Dr. Bowo, seorang dosen Falsafah Sains. Menurut dia, manusia dapat mengetahui tentang kehidupan alam dan kehidupan sosial dengan dua cara: pengetahuan dan sains. Pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman dan perjuangan hidup sehari-hari. Sementara sains, diperoleh melalui metode penyelidikan yang dikembangkan secara logis dan sistematis untuk mengetahui dan mempelajari segala sesuatu tentang dunia di sekitar kita.

Dalam salah satu sesi kuliah, Pak Bowo menceritakan tentang Pawang Urut. Dari sisi sains, barangkali tidak memenuhi kriteria. Namun, faktanya pasien patah kaki bisa disembuhkan, tanpa harus melibatkan spesialis bedah tulang, tanpa harus naik meja operasi, cukup dengan diurut dan dioles minyak.

Dari sisi agama, hal-hal demikian juga sangat mudah kita temukan, minimal mendengarkan. Banyak agama yang memiliki kisah yang tidak bisa dijangkau akal. Bagaimana sains bisa menjelaskan perihal perjalanan ratusan kilometer hanya dalam sesaat? Bagaimana pula sains menjelaskan kebangkitan orang yang sudah mati? Membelah lautan? 

Bagi saya, poin pentingnya adalah aspek kebergunaan. Baik pengetahuan maupun sains keberadaannya adalah untuk memudahkan kehidupan manusia. Dari sisi agama modalnya adalah keyakinan. Kecuali, Anda berguru kepada yang sanad-nya tidak terputus, sampai ke pangkal.

Sehingga, apa yang bisa terjadi 14 abad yang lalu, bisa dipraktekkan di era teknologi seperti sekarang ini. Jika tidak, Anda cukup meyakininya saja, habis perkara! Tak usahlah ribut-ribut membenturkannya dengan sains, apalagi sekedar membenturkan dengan keyakinan Anda yang belum tentu juga tidak klenis itu. 

Namun, ada satu Pawang yang sekarang ini belum ditemukan, apa itu? Pawang Harga. Pawang yang dapat mengendalikan harga bawang, harga cabe, harga tomat, harga gula, harga minyak goreng, dan harga-harga kebutuhan dapur lainnya.

Kenaikan harga yang sudah tidak alang-kepalang naiknya. Yang sudah membuat risau ibu-ibu dalam mengatur belanjanya, yang sudah membuat bapak-bapak pusing tujuh keliling karena pendapatan tetap tapi harga barang terus merangkak. Mengacu kepada definisi Pawang yang sudah saya jelaskan di atas, sepertinya Mendag Luthfi belum layak untuk kita sebut sebagai Pawang. Entah itu sebagai Pawang Dagang, apalagi Pawang Harga. [red/rin]

Alja Yusnadi, Warga Komplek Ghibah Hasanah yang sedang menyelesaikan Studi Doktoral di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB University.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *